Cerita Hidup Penggiling Kopi

Malam itu, seorang bapak yang sudah menginjak usia senja tampak menuntun sepedanya menyusuri jalan di kawasan Pecinan Semarang. Di belakang sadel sepedanya, terdapat gilingan kopi dan dua kaleng. Jeepban dan Saya memanggilnya, selain karena stok di rumah sudah hampir habis, juga didorong rasa penasaran akan rasa dari kopi yang dijual bapak itu.

“Saya sudah berkeliling menjajakan kopi sejak tahun 1965 mas, sejak jaman PKI.”, tutur bapak itu sambil memutar gilingan kopi. “Ibarat tentara, Saya ini mentok di Kopral, dan tidak naik-naik ha ha ha” , kelakarnya. “Saya biasa berkeliling sehabis Maghrib di kawasan Pecinan sini, untuk memasok kopi ke pedagang-pedagang kucingan di kawasan ini”. Kucingan adalah warung makan yang biasanya buka saat malam, sejenis angkringan kalau di Jogja, atau warung Hik di Solo. Biasa disebut kucingan karena menjajakan nasi bungkus yang porsinya sedikit seperti porsi makanan kucing.

Kopi yang dijual bapak ini terdiri dari dua jenis, kopi Jawa dan kopi Sumatra. Dengan harga yang murah, dan kualitas yang tidak kalah dari kopi produksi pabrik, tentu saja para pedagang angkringan lebih memilih untuk berlangganan kepadanya. Sayang kemarin lupa menanyakan dari mana Bapak ini kulakan biji kopi yang dia jual.

“Saya asli Kebumen, keluarga Saya semua masih di sana.” Apa tidak kangen Pak? “Kalau kangen ya tinggal pulang, Semarang – Kebumen sekarang kan dekat.” “Saya biasanya sekitar dua bulan sekali pulang untuk bertemu anak dan cucu.” Karena penasaran, saya mencoba menggiling biji kopi yang saya pesan sendiri. “Wah ternyata pegel juga ya Pak?” ujarku sambil menyeka keringat yang mengucur. “Ini baru sebungkus mas, coba kalau sekilo, lebih pegel ha ha ha”

Saya cukup terkejut saat menanyakan namanya.  “Pak Haji Sidiq,” ujarnya memperkenalkan diri. Wah bapak ini ternyata sudah Haji. “Saya naik haji tahun 1987, saat itu biayanya sekitar Rp4 juta, dan antriannya belum seperti sekarang ini”.

Saya berfikir, kalau pria sederhana yang tiap hari menjajakan kopi ini bisa menunaikan ibadah Haji ke Mekkah, kenapa saya tidak bisa? Dimana ada niat, pasti Allah akan memberikan jalan. Insya Allah tiga tahun lagi Saya akan menjalankan rukun Islam kelima di Tanah Suci Mekkah.

4 thoughts on “Cerita Hidup Penggiling Kopi

  1. E-no says:

    Taraaaaa…
    There’s a will, there’s a way. Di mata kita mungkin pak Sidiq “cuma” jualan kopi giling yang menimbulkan pertanyaan: berapa-sih-penghasilannya-per-hari? But I believe you can if you think you can, dan kemauan yang keras (pleus usaha) lebih sakti ketimbang kemampuan yang mumpuni dalam mewujudkan mimpi

  2. Hi..mas MIJON #eh , aku mampir di blog-mu yah
    hari ini lagi pengen jalan-jalan…”blusukan”, sayang bukan di pecinan…
    aniwei, so blessed bangeet yah..kalo si Bapak udah berhaji, kalo mas, tiga tahun lagi ya? amiiiin..saya turut mendoakan :)

    salam kenal nggeh mas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *